Rabu, 19 Maret 2014

DOTI

oleh Iswan Sual




Di sebuah gubuk kecil di tengah hutan. Pergilah kesana Tuama. Saat dia tiba tak nampak seorang pun dalam gubuk. Pintu dan jendela yang terbuat bamboo itu tampak tertutup rapat. Serombongan burung taun lewat di langit  yang kian pekat. Burung titicak terdengar ribut di dahan-dahan pohon yang rimbun. Terdengar seperti debat kusir para wakil rakyat yang sama sekali bukan sebagai upaya untuk memperbaiki nasib rakyat. Melainkan hanya berkutat pada kepentingan sesaat mereka mumpung masih menjabat. Tuama sedikit kecewa karena tak melihat orang yang perlu ditemuinya. Enggan dia melangkah mendekat ke gubuk tua reyot itu. Apalagi gelap semakin dekat. Lebih baik pulang sebelum malam tiba.  Bisiknya pada dirinya sendiri.
“Aweang ona’ re’e perlu?[1]” kata seorang kakek tiba-tiba.
Dengan kaget Tuama menoleh ke arah suara serak dan agak kasar itu. Di hadapannya telah berdiri seorang pria lusuh sedang memikul cangkul dan menjinjing tiga atau empat singkong yang berukuran sedang-sedang saja. Tanah tebal masih menempel pada singkong-singkong itu. Titik-titik cairan getah menetes dari ujungnya yang sempat terluka oleh sabetan cangkul. Bagai jarum jam yang berdetak mengantar mereka di lorong gelap.
“Eng karu’ e om![2]” sedikit terbata-bata Tuama mulai menguraikan maksudnya.
Dipersilahkan pria tua itu Tuama masuk ke dalam gubuknya. Gubuk dan orang yang tinggal di dalamnya patut dikasihani. Gubuk itu rasanya tak cukup untuk melindungi mereka dari dinginnya malam. Sela-sela pada dinding bambunya melebar setiap hari berganti. Panas dan hujan bekerjasama dengan rayap-rayap menambah kelapukannya. Barangkali besok atau lusa pria  itu harus segera membangun gubuk yang baru.
“Sebenarnya kedatangan saya kesini ada kaitannya dengan rasa sakit yang sudah kualami berhari-hari ini om. Aku sudah mencoba pergi berobat ke kota. Seperti yang disarankan oleh pendetaku. Tapi, kata dokter tak satu pun penyakit terdeteksi bersarang dalam tubuhku. Memang, beberapa anggota keluarga sudah menyarankan agar aku langsung ke sini bulan yang lalu karena mereka yakin bahwa yang aku derita ini bukanlah penyakit biasa. Tapi setiap kali aku mulai keluar rumah, sepertinya si pendeta sudah punya firasat, dia selalu mencegahku. Katanya, ‘Jangan mencari kesembuhan pada berhala-berhala!’ Aku berusaha taat pada perkataannya. Tapi, rasa sakit di telinga dan kepalaku mendesak agar aku segera mencari pertolongan lain. Karena bagiku dokter dan dukun sama saja. Mereka adalah alat Opo Kasuruang Wangko. Pendeta lebih mengajarkan perawatan dokter karena lebih masuk akal. Sementara pengobatan tradisional, karena kurangnya pemahaman, dianggapnya sebagai pekerjaan setan. Saya kadang heran. Ketidakinginan untuk belajarnya menghalanginya untuk memahami model perawatan itu.  Padahal penyembuhan lewat ibadah KKR pun sulit untuk masuk dalam akal sehatku.“
Panjang lebar Tuama bercerita kepada kakek itu. Termasuk kapan gejala penyakit mulai dia rasakan. Semua penjelasannya hanya disambut dengan anggukan kepala. Tapi mata kakek itu menyiratkan bahwa otaknya bekerja berat membuat kesimpulan-kesimpulan yang mendekati kemungkinan. Dia lalu meminta Tuama pergi ke kebun dimana dia selalu menghabiskan waktunya demi menggembalakan sapi.
“Mange an terung an uma nu wo indongenu sanga kompol en amporang ambitu. Bungkusengio wo aling mi’i. indong ki’i siou rosi. Ta’ang ca toro wo ca ro’na remoma’ a se tou si pa’pesungkelennu,”[3] kata kakek.
Tanpa membuang waktu lagi Tuama pun bergegas pergi menuju kebunnya. Dia melakukan semua persis seperti yang diarahkan. Dan dia kembali membawa abu sisa pembakaran dan menyerahkannya kepada sang dukun. Saat dia kembali di atas meja telah tergeletak dua piring pusaka yang telah ditutup dengan kain merah. Di antara ke dua piring itu tergelar juga sebuah keris emas kecil yang juga dililiti kain merah. Tuama sama sekali tak terkejut dengan benda-benda itu. Karena semua itu selalu dilihatnya di rumah kakeknya yang bernama Hero. Bahkan isi sompoi kakeknya punya lebih banyak barang-barang lain. Barang-barang tak seorang pun boleh menyentuhnya. Karena kesakralannya.
“Ada orang yang marah padamu. Karena kamu tak mau bertukar sapi dengan dia. Dia sangat suka dengan sapimu. Kain hitam yang dililit rambut ini kutemui dalam abu sisa bakaran yang kamu bawa. Sakit yang kamu alami adalah ini penyebabnya…. Tapi masih ada satu lagi. Coba buka mulutmu dan hembuskan nafas ke bunga ini….. ya ternyata ini. Dia menyelipkan kepingan puntung rokok dan barang pecah belah ke dalam tubuh dengan bantuan mahluk gaib. “
Tuama berusaha menyangsikan uruaian sang dukun. Tapi, sakit yang dia derita berangsur pergi. Kesembuhan telah terjadi. Tapi, tak sepata kata hujatan pun keluar dari mulut sang dukun. Tuama pun ingat seseorang yang kerap berkunjung ke rumahnya. Orang yang memaksakan kehendaknya agar mereka melakukan barter sapi. Hewan yang Tuama gunakan sekali seminggu untuk batibo[4] ke kota Kotamobagu. Negeri yang pernah menjadi pusat kekuasaan Loloda Mokoagow, raja besar Bolaang Mongondow. Dia tak menyangka orang yang dipanggilnya kakak itu tega melakukan praktik doti[5] terhadap Tuama. Dia menggunakan wentel[6] untuk mencelakai orang. Sungguh sangat bertentangan dengan ajaran tetua mereka. Sebuah wentel adalah anugerah, pemberian cuma-cuma dari yang maha kuasa. Kini dipergunakan untuk kejahatan.
“E Tuama. Sa ico mesungkul si tou niitu. Ca toro ico ma’bow asia. We’e a si Opo Kasuruang oka eng pamulengengnu. Kinela’ana kua sa sia semea’em.”[7]
Tuama pulang dalam keadaan bingung. Bukan oleh karena perkataan sang dukun. Melainkan perkataan pendeta yang melarangnya pergi ke dukun. Betapa kelirunya dia. Karena ketidaktahuan dan ketidakmauan untuk belajarlah yang menyebabkan dia memiliki prasangka buruk pada praktik yang adalah warisan leluhur itu. Ternyata, apapun yang ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan yang bisa digunakan secara benar dan salah. Wentel seumpama pisau. Bisa bermanfaat. Bisa mencelakakan. Kebenaran dan kesalahan ternyata adalah soal tahu dan tidak tahu.

Tondei, 17 Maret 2013






[1] Ada perlu mungkin? (Bhs Tontemboan)
[2] Iya benar Om! (Bhs Tontemboan)
[3] Pergilah ke ladangmu dan ambilah abu sisa sisa pembakaran di sebuah gubuk. Bungkuslah dan bawa kesini. Bawa juga Sembilan kuntum bunga mawar. Namun, jangan bicara dengan siapapun yang kamu temui.
[4] Berjualan langsung ke pasar setelah melaksanakan perjalanan jauh.
[5] Menyebabkan orang lain sakit, celaka atau mati secara mistik.
[6] Jimat
[7] “Nak, bila kamu bertemu dengan orang itu. Tak usahlah  kamu memarahi dia. Serahkan pada Tuhan saja tanggungan dan penderitaanmu itu. Dia telah menyadari kesalahannya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar