oleh Iswan Sual
Lorong yang Karapi susuri sore itu nampak ramai. Beberapa orang berjalan dengan arah yang sama dan berlawanan dengannya. Kira-kira 50 meter jauhnya, terlihat olehnya seorang lelaki berpakaian putih berdiri di depan rumah. Lelaki itu bertubuh agak pendek. Kumisnya dibiarkan tumbuh. Namun tak terlalu tebal.
Rumah itu
memiliki kintal yang luas dan
dikelilingi pagar bambu yang dicat dengan warna bendera negara kami. Tak boleh
warna lain. Harus merah dan putih supaya seragam. Sungguh kontras dengan
semboyan negara, Bhineka Tunggal Ika,
berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan yang menipu dan membodohi. Tinggal
sebuah slogan.
Senyuman
dengan gigi yang rapih jelas ditujukan kepadanya. Karapi membalas senyum itu.
Dia kenal, tentu saja, pria yang sudah berambut putih namun masih tegak berdiri
itu.
“Darimana
re’e? Singga dulu!” sapa lelaki tua itu.
“Dari
sebla. Da pimpin ibada kwa,” balas Karapi dengan ramah dan penuh hormat.
Ada rasa
bahwa orang tua yang berdiri di hadapannya adalah orang yang perlu dihormati
bukan hanya lantaran itu merupakan tuntutan adat istiadat. Lebih dari itu. Dia
merasa penghormatan mesti diberikan lantaran orang tua adalah Apo. Orang yang
patut dicontoh karena punya banyak pengalaman, pengetahuan, dan wibawa. Karapi
merasa bahwa Apo Mandor mewujud dalam diri orang tua itu. Padahal dia sendiri
tak sempat melihat Apo Mandor yang riwayatnya sangat melegenda di Wanua atau
kampungnya. Apo Mandor dikenal sebagai tonaas,
orang yang patut dicontoh, orang yang teguh karena memiliki mutu hidup seperti,
keter (kuat), niatean (berhati nurani) dan nga’asan
(memiliki pengetahuan dan kecakapan hidup).
Karapi
memutuskan mampir bukan karena hanya untuk berbasa-basi. Tiba-tiba diingatnya
bahwa ada hal-hal yang hendak dia tanyakan. Pertama berkenaan dengan silsilah
keluarga. Ayahnya memintanya untuk memperjelas apakah benar Apo Philep adalah
anak dari Apo Mandor atau hanya kemenakannya. Soanlya ada yang bilang bahwa Apo
Philep yang tinggal di desa Ongkau bukan anak kandungnya Apo Mandor. Memang itu
kedengarannya hal yang sepele. Tapi tidaklah demikian bagi Karapi. Dia mesti
mencari sebuah kepastian. Atau paling tidak sebuah kejelasan.
Melalui
pintu dapur Karapi masuk membeo di belakang pria tua tadi. Tak perlu menunggu dipersilahkan
duduk. Karapi merasa basa-basi itu tidak dibutuhkan karena mereka di rumah itu dianggapnya
serumpun. Berasal dari keluarga yang sama. Segelas kopi, tak lama kemudian,
disugukan oleh salah seorang menantu perempuan. Karapi tak mengenal perempuan
muda itu. Tapi dia yakin pasti dia adalah istri salah seorang anak pria tua
yang menjadi teman bicaranya. Belum lagi kopi diteguk Karapi, sepiring nasi
jaha telah disajikan. Nasi jaha tiada dibalut dengan daun pisang. Orang di
kampungnya menyebut itu nasi ja’a blanga.
Awalnya dua
orang dengan beda usia yang terlampau jauh itu bincangkan tentang tipisnya
peluang desa mereka untuk memiliki utusan dari kampung sendiri untuk menjadi
anggota dewan di kabupaten. Kedua-duanya menyesalkan empat orang-orang terdidik
sekampung yang mencalonkan diri yang tidak mau berembuk untuk mengakui mana
dari mereka yang lebih layak menjadi penyambung lidah rakyat dari desa, ro’ong kami. Masing-masing tak ada yang
mau mengalah. Mereka telah lebih setia pada partai yang memecahbelah. Partai
yang cenderung berpihak pada mereka yang kantongnya penuh emas. Karapi sendiri
lebih memilih calon yang bernama Kumayas. Sedangkan pria tua itu condong kepada
Sumangkut. Keputusan si pria beralaskan hubungan darah. Sedangkan keputusan Karapi
berlandaskan tingkat pendidikannya.
Karapi menganggap
bahwa pembicaraan mereka yang bertalian dengan politik itu tak usah diteruskan.
Apalagi mereka punya jagoannya yang berbeda. Tambahan lagi, tujuan utama Karapi
mampir bukan untuk bicara politik Indonesia yang sudah tak ada harapan lagi.
Politik hanyalah sebuah lelucon, kata Iswan Sual, seorang temannya yang pernah
menjadi korban pengeroyokan oleh beberapa politikus kampung yang menerapkan
metode machievelian ketika tahun lalu
menawarkan diri menjadi calon Ukung Tua di kampungnya. Iswan Sual adalah seorang
sarjana yang penuh semangat dan masih bujangan. Berumur tiga puluh tahun.
Berkampanye secara wajar. Tanpa menyebar uang sogokkan, pesta pora atau semacam
itu. Dia berikhtiar menyampaikan suara kenabian lewat tutur dan tindak. Namun,
ternyata orang di kampung halamannya. Akhirnya dia menyadari bahwa dia tak
pantas dan tak memenuhi kriteria manusia-manusia jaman sekarang. Yesus saja
ditolak di kampung halamannya. Apalagi hanya seorang Iswan Sual yang berayahkan
seorang petani dari golongan ekonomi menengah ke bawah.
“Tua, butul
re’e tu tete Pilep bukang tete Mandor pe anak?” kata Karapi setelah dua
tegukkan kopi mengalir masuk melalui tenggorokannya yang tak memiliki sesuatu
yang menonjol.
“O! baru
ki’i ini kong kita dengar!” jawabnya sedikit tertawa. Pria yang bernama Junus
Sual itu sangat terkejut. Jelas dia tak percaya dengan apa yang baru saja
diutarakan Karapi. Dia yakin betul. Keterangan mengenai keturunan dari Apo
Mandor dia peroleh langsung dari anak-anak Apo Mandor yang sempat
dikenaldekatnya seperti Apo Tertius, Apo Maruang dan Apo Saul. Bahkan ayahnya
dan saudara orang tuanya turut memperkuat tentang itu.
“Nyanda
mungkin no! Kita pe papa ja terangkan bae-bae. Kita besar di Tiniawangko. Dulu
dorang bilang tu kampung itu Mangowa. Tu Tiniawangko itu torang pe Apo Mandor
yang buka. Dia kwa dulu Blanda angka jadi Mandor. Dorang yang buka tu sinia’
wangko’ deng tu Kobio’ yang so jadi kobong Ongkau skarang. Makanya sala satu tu
depe anak korang da kaweng, tinggal deng mati di Ongkau. Tu sala satu depe
anak, kita pe papa ya itu, tinggal di Tiniawangko jadi pegawai perusahaan karet
di Tiniawangko. Waktu itu masi goro. Blum da tanang akang klapa. Orang Blanda
dulu ja bilang kalu mo ganti klapa mo banya orang yang mo jadi papancuri. Serta
kita lia, butul karu ya tu Blanda," urainya panjang lebar.
Topik mereka
selanjutnya berganti-ganti. Pria tua yang lebih banyak bicara. Sedangkan Karapi
memilih menjadi pendengar setia. Sebab dengan begitu dia akan membawa pulang
kekayaan yang tiada ternilai harganya, warisan ingatan tentang leluhurnya. Sebuah
tuturan yang menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dan kini. Kadang
dituturkannya dengan bangga tentang pengalamannya sewaktu masih menjadi tentara
Permesta. Katanya beberapa kali dia ditangkap oleh musuh. Dan ditembak tapi
nyawanya selamat karena dia menaati apa yang diajar oleh Apo-aponya. Dengan
bangga dia mengaku bahwa dia kadang membawa sompoi
Apo Hero Timporok sewaktu Apo masih hidup. Juga diceritakannya tentang dirinya
yang nyaris kaya dari kupeso karena bertapa di kuburnya Apo Mandor.
“Kita dulu
itu blum bapegang wentel. Karna blum cukup umur. Nanti smo brangkat ka Jawa
kong dapa. Mar, biar blum ada tu da kase ika-ika di badan mar dorang tete ja
datang babise-bise pa kita pe talinga, ‘Ca toro mainde-inde e poyo’, jang tako
e cucu!’.
Karapi
pulang saat matahari telah ditelan ufuk barat. Hari itu dia dilanda rasa
gembira yang luar biasa oleh karena cerita-cerita heroik. Cerita-cerita mirip
itu sering ditontonnya di TV. Seperti film tentang manusia-manusia super yang
diangkat dari cerita komik Amerika Serikat yang dinikmatinya sewaktu kecil.
Karapi pulang dengan rasa puas. Namun masih haus akan cerita-cerita lain yang
belum didengarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar