Di sebuah
gubuk kecil di tengah hutan. Pergilah kesana Tuama. Saat dia tiba tak nampak
seorang pun dalam gubuk. Pintu dan jendela yang terbuat bamboo itu tampak tertutup
rapat. Serombongan burung taun lewat
di langit yang kian pekat. Burung titicak terdengar ribut di dahan-dahan
pohon yang rimbun. Terdengar seperti debat kusir para wakil rakyat yang sama
sekali bukan sebagai upaya untuk memperbaiki nasib rakyat. Melainkan hanya
berkutat pada kepentingan sesaat mereka mumpung masih menjabat. Tuama sedikit
kecewa karena tak melihat orang yang perlu ditemuinya. Enggan dia melangkah
mendekat ke gubuk tua reyot itu. Apalagi gelap semakin dekat. Lebih baik pulang
sebelum malam tiba. Bisiknya pada
dirinya sendiri.
“Aweang
ona’ re’e perlu?[1]”
kata seorang kakek tiba-tiba.
Dengan
kaget Tuama menoleh ke arah suara serak dan agak kasar itu. Di hadapannya telah
berdiri seorang pria lusuh sedang memikul cangkul dan menjinjing tiga atau
empat singkong yang berukuran sedang-sedang saja. Tanah tebal masih menempel
pada singkong-singkong itu. Titik-titik cairan getah menetes dari ujungnya yang
sempat terluka oleh sabetan cangkul. Bagai jarum jam yang berdetak mengantar
mereka di lorong gelap.
“Eng karu’
e om![2]”
sedikit terbata-bata Tuama mulai menguraikan maksudnya.
Dipersilahkan
pria tua itu Tuama masuk ke dalam gubuknya. Gubuk dan orang yang tinggal di
dalamnya patut dikasihani. Gubuk itu rasanya tak cukup untuk melindungi mereka
dari dinginnya malam. Sela-sela pada dinding bambunya melebar setiap hari
berganti. Panas dan hujan bekerjasama dengan rayap-rayap menambah kelapukannya.
Barangkali besok atau lusa pria itu
harus segera membangun gubuk yang baru.
“Sebenarnya
kedatangan saya kesini ada kaitannya dengan rasa sakit yang sudah kualami
berhari-hari ini om. Aku sudah
mencoba pergi berobat ke kota. Seperti yang disarankan oleh pendetaku. Tapi,
kata dokter tak satu pun penyakit terdeteksi bersarang dalam tubuhku. Memang,
beberapa anggota keluarga sudah menyarankan agar aku langsung ke sini bulan
yang lalu karena mereka yakin bahwa yang aku derita ini bukanlah penyakit
biasa. Tapi setiap kali aku mulai keluar rumah, sepertinya si pendeta sudah
punya firasat, dia selalu mencegahku. Katanya, ‘Jangan mencari kesembuhan pada
berhala-berhala!’ Aku berusaha taat pada perkataannya. Tapi, rasa sakit di
telinga dan kepalaku mendesak agar aku segera mencari pertolongan lain. Karena
bagiku dokter dan dukun sama saja. Mereka adalah alat Opo Kasuruang Wangko.
Pendeta lebih mengajarkan perawatan dokter karena lebih masuk akal. Sementara
pengobatan tradisional, karena kurangnya pemahaman, dianggapnya sebagai
pekerjaan setan. Saya kadang heran. Ketidakinginan untuk belajarnya
menghalanginya untuk memahami model perawatan itu. Padahal penyembuhan lewat ibadah KKR pun sulit
untuk masuk dalam akal sehatku.“
Panjang
lebar Tuama bercerita kepada kakek itu. Termasuk kapan gejala penyakit mulai
dia rasakan. Semua penjelasannya hanya disambut dengan anggukan kepala. Tapi
mata kakek itu menyiratkan bahwa otaknya bekerja berat membuat kesimpulan-kesimpulan
yang mendekati kemungkinan. Dia lalu meminta Tuama pergi ke kebun dimana dia
selalu menghabiskan waktunya demi menggembalakan sapi.
“Mange an
terung an uma nu wo indongenu sanga kompol en amporang ambitu. Bungkusengio wo
aling mi’i. indong ki’i siou rosi. Ta’ang ca toro wo ca ro’na remoma’ a se tou
si pa’pesungkelennu,”[3] kata
kakek.
Tanpa
membuang waktu lagi Tuama pun bergegas pergi menuju kebunnya. Dia melakukan
semua persis seperti yang diarahkan. Dan dia kembali membawa abu sisa pembakaran
dan menyerahkannya kepada sang dukun. Saat dia kembali di atas meja telah
tergeletak dua piring pusaka yang
telah ditutup dengan kain merah. Di antara ke dua piring itu tergelar juga
sebuah keris emas kecil yang juga dililiti kain merah. Tuama sama sekali tak
terkejut dengan benda-benda itu. Karena semua itu selalu dilihatnya di rumah
kakeknya yang bernama Hero. Bahkan isi sompoi
kakeknya punya lebih banyak barang-barang lain. Barang-barang tak seorang pun
boleh menyentuhnya. Karena kesakralannya.
“Ada orang
yang marah padamu. Karena kamu tak mau bertukar sapi dengan dia. Dia sangat
suka dengan sapimu. Kain hitam yang dililit rambut ini kutemui dalam abu sisa
bakaran yang kamu bawa. Sakit yang kamu alami adalah ini penyebabnya…. Tapi
masih ada satu lagi. Coba buka mulutmu dan hembuskan nafas ke bunga ini….. ya
ternyata ini. Dia menyelipkan kepingan puntung rokok dan barang pecah belah ke
dalam tubuh dengan bantuan mahluk gaib. “
Tuama
berusaha menyangsikan uruaian sang dukun. Tapi, sakit yang dia derita berangsur
pergi. Kesembuhan telah terjadi. Tapi, tak sepata kata hujatan pun keluar dari
mulut sang dukun. Tuama pun ingat seseorang yang kerap berkunjung ke rumahnya.
Orang yang memaksakan kehendaknya agar mereka melakukan barter sapi. Hewan yang
Tuama gunakan sekali seminggu untuk batibo[4] ke
kota Kotamobagu. Negeri yang pernah menjadi pusat kekuasaan Loloda Mokoagow,
raja besar Bolaang Mongondow. Dia tak menyangka orang yang dipanggilnya kakak
itu tega melakukan praktik doti[5]
terhadap Tuama. Dia menggunakan wentel[6] untuk
mencelakai orang. Sungguh sangat bertentangan dengan ajaran tetua mereka.
Sebuah wentel adalah anugerah, pemberian cuma-cuma dari yang maha kuasa. Kini dipergunakan
untuk kejahatan.
“E Tuama.
Sa ico mesungkul si tou niitu. Ca toro ico ma’bow asia. We’e a si Opo Kasuruang
oka eng pamulengengnu. Kinela’ana kua sa sia semea’em.”[7]
Tuama
pulang dalam keadaan bingung. Bukan oleh karena perkataan sang dukun. Melainkan
perkataan pendeta yang melarangnya pergi ke dukun. Betapa kelirunya dia. Karena
ketidaktahuan dan ketidakmauan untuk belajarlah yang menyebabkan dia memiliki
prasangka buruk pada praktik yang adalah warisan leluhur itu. Ternyata, apapun
yang ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan yang bisa digunakan secara benar dan
salah. Wentel seumpama pisau. Bisa bermanfaat. Bisa mencelakakan. Kebenaran dan
kesalahan ternyata adalah soal tahu dan tidak tahu.
Tondei, 17
Maret 2013
[2] Iya benar Om! (Bhs
Tontemboan)
[3] Pergilah ke ladangmu dan
ambilah abu sisa sisa pembakaran di sebuah gubuk. Bungkuslah dan bawa kesini.
Bawa juga Sembilan kuntum bunga mawar. Namun, jangan bicara dengan siapapun
yang kamu temui.
[4] Berjualan langsung ke pasar
setelah melaksanakan perjalanan jauh.
[5] Menyebabkan orang lain
sakit, celaka atau mati secara mistik.
[6] Jimat
[7] “Nak, bila kamu bertemu
dengan orang itu. Tak usahlah kamu
memarahi dia. Serahkan pada Tuhan saja tanggungan dan penderitaanmu itu. Dia
telah menyadari kesalahannya.”