Selasa, 12 Agustus 2014

SESAT




[sebuah cerpen]

Oleh Iswan Sual



Tiba-tiba telpon genggam Valeri menggelinjang dan lompat-lompat  di atas meja belajarnya. Masih disebut meja belajar lantaran meski sudah lama tamat kuliah, di meja itu masih menumpuk buku. Setiap bulan bahkan bertambah. Setiap bulan sebagian gaji Valeri ditukar dengan buku-buku.
Untung saja  cepat dia melihatnya. Kalau tidak pasti badan ponsel tersebut telah terpisah-pisah begitu  membentur ubin lantai kamar berwarna putih di kamarnya. Panggilan telpon sebenarnya mau dia acuhkan saja. Itu sebelum dia melihat nama pemanggil yang tertera di layarnya.
“Halo…ngana ja kerja ato?”
“Halo…. Bicara jo. Kyapa?”
“Napa mama mo bicara kata.”
Mendadak dinding dada Valeri seperti ditendang-tendang dari dalam. Rasanya mau jebol dan ambrok. Kok, mama mau bicara? Tentang apa? Apa sesuatu yang luarbiasa telah terjadi? Pertanyaan itu memberondongnya. Enggan rasanya dia menekan tombol terima telpon sebelum siap sedia dengan kenyataan yang bakal masuk di telinganya sebentar lagi. Ada apa ya? Apa terjadi sesuatu pada ayah? Apa penyakitnya kambu lagi? Pertanyaan-pertanyaan menggempurnya kembali. Valeri memang selalu dak dik duk bila ada panggilan masuk di telpon genggamnya. Dan biasanya pikirannya langsung ke ayahnya. Gelagatnya seperti itu bukan tanpa alasan. Tahun lalu ayahnya terserang penyakit. Penyakit yang merengut berjuta-juta rupiah. Penyakit yang membuat ayahnya tumbang seketika di saat sedang nonton adu tinju di tv. Namun sayang penyakit itu tak ditemukan pihak rumah sakit. Macam-macam cara telah dilakukan. Scanning, tes urin, periksa darah, dan lain-lain. Semua itu tak membuahkan hasil. Tapi para dokter, perawat dan semua di perusahaan sakit itu meraup keuntungan dari rawat inap tiga hari ayah Valeri. Biasanya orang kampung, bila sudah begitu, pasti akan cepat-cepat pulang dan mencari kambing hitam. Mereka akan mencoba-coba mengingat orang-orang yang pernah berselisih paham lalu menuduh orang itu sudah melakukan praktik madiara. Tapi valeri tidak. Dia tahu penyakit ayahnya tak bisa terdeteksi lantaran alat-alat canggih sedang disimpan khusus untuk orang-orang kaya saja. Atau lantaran kedunguan para dokter yang dapat status dokter karena orang tua mereka hartanya banyak sehingga korang taambor-ambor.  Yang mendapat kartu sehat pun tidak berarti dirawat cepat. Mereka hanya menjadi tujuan praktek para mahasiswa yang sebentar lagi jadi dokter.
“Haaaaalo!”
“Kalu bole, ngana pulang skarang. Napa so hebo di sini, ngana kata so ja sesatkan orang!”
Entah apa yang Valeri ujarkan selanjutnya. Suara ibunya kini terdengar seolah bunyi NGIIIIING panjang di telinganya. Entah apa jawab yang diberikannya sewaktu hendak akhiri pembicaraan. Kini Valeri hanya terbelalak memandang tembok cat ungu di depannya. Rasa kantuk telah minggat sejauh-jauhnya. Tak tahu dimana rimbanya. Dia sekarang ini memikirkan satu nama. Calvin. Calvin adalah seorang pendeta yang pernah bertugas di gereja di desanya. Sekarang telah pindah ke jemaat Karowa. Tapi, rasanya dia tak percaya. Kok, seorang pendeta bisa gegabah dan tolol seperti itu? Kok,tega-teganya dia menggosipkan anggota jemaatnya? Valeri mengingat satu nama lagi yang disebut ibunya. Katanya dia juga seorang pendeta dan turut andil dalam penyebaran desas-desus. Hanya, kelaminnya perempuan. Valeri memaksa otaknya bekerja untuk mengingat nama itu. Saraf-saraf yang rusak akibat terhenyak oleh  berita buruk yang didengarnya tadi tetap saja dipaksanya berfungsi untuk mengingat satu nama. Meeeeerrrcy. Ya itu namanya. Nama yang kadang-kadang disalahucapnya menjadi Merry  dulu tatkala bertemu dengan si ibu pendeta. Dia memang sering menghindari ibu pendeta itu gara-gara sering memaksanya untuk segera disidi, dijadikan jemaat penuh sehingga bisa menggunakan hak pilih dalam suksesi diaken dan syamas. Kata ibunya ibu pendeta ini diberitahu pendeta Calvin bahwa Valeri telah menjadi orang sesat dan sedang menyesatkan orang.
Siang itu juga Valeri langsung membuka akun media sosialnya hanya untuk melihat-lihat apakah si Calvin itu sedang online. Dan ternyata Valeri beruntung. Di sudut kanan halaman akunnya tertera nama Calvin Wuner. Dulu salah seorang teman Valeri yang kebetulan sama-sama kuliah dengan Calvin di UKIT  pernah berujar, “Calvin itu pengkhianat. Dulu dia yang pimpin   demo mahasiswa melawan GMIM yang memaksakan untuk mengubah YPTK mejadi Wenas. Kami mendukungnya. Karena kami percaya dia. Tapi, ternyata dia itu bunglon dan pengkhianat. Diam-diam dia melompat ke kandang sebelah dengan tipu muslihat. Pasti dia menyogok.  Lebih baik aku begini saja namun tetap pada pendirian daripada menjadi pendeta dari hasil sogokan.” Valeri terheran-heran mendengar itu. Dan tentu saja tak percaya dengan kata-kata temannya itu. Wajar bila dia begitu, pikir Valeri.Dia tentu stress lantaran GMIM tak mau menerima mereka, lulusan YPTK, untuk menjalani masa vikariat di jemaat GMIM.
Rasa enggan dan malu menghalangi jari-jari Valeri untuk mengetik sebaris pertanyaan di kotak obrolan media sosial. Rasa itu tentu karena gelar pendeta yang melekat pada nama itu. Orang-orang kini kebanyakan tidak takut berbuat dosa meski mereka tahu mata Tuhan ada dimana-mana. Namun, para jemaat takut berbuat hal demikian di depan pendeta. Maklum, para pendeta itu adalah hamba Tuhan. Sama seperti pemerintah yang adalah wakil Allah. Dan kadang-kadang pendeta dan pemerintah lebih dipertuhankan daripada Tuhan itu sendiri. Para pendeta bukannya mencegah itu malah keenakan.
Entah roh apa yang merasuk, jari-jari tangan Valeri tiba-tiba bergelinjang di atas papan tuts komputer portable-nya.
“Pendeta, kyapa pendeta ja bilang kita kata so sesat deng so ja sesatkan orang?”
Qt bilang di ajak diakusi tu pemuda. Bukan sesatkan. Mungkin ibu yang salah membahasakan.”
“Amper satu kampung so tau bahwa kali kata kita penyesat. Lantaran nae-nae gunung, pigi-pigi di aerjatu, dll. Tu cirita ini hebo di skola deng di greja.”
Sejurus kemudian percakapan terhenti. Tak tahu sebabnya. Mungkin sinyal yang kurang subur. Mungkin juga pendeta Calvin sibuk dengan kerja mempersiapkan bahan khotbah untuk kebaktian malam nanti.  
Esoknya Valeri telah berada di kampung halamannya. Pagi-pagi sekali dia meluncur dengan sepeda motor tua bermerk Kharisma keluaran tahun 2003. Kepulangannya bukan untuk mengamuk atau hal-hal nekat sejenisnya di rumah pastori. Kepulangan kali ini dipicu oleh rasa sakit di punggung dan tangan kirinya. Barangkali pemantiknya adalah kerna tergelincir dan terjatuh saat menuruni gunung Soputan dua minggu lalu. Orang Minahasa bilang itu salese. Belum lagi dia duduk, ibunya langsung mencecarnya dengan cerita-cerita miring tentangnya. Kata ibu Valeri, cerita buruk itu bermula dari mulut pendeta Calvin kemudian menjangkit ke mulut pendeta Mercy. Ibunya menerangkan dengan jelas. Tak sedikit pun ada tanda jika cerita itu dikarang-karang. Namun, Valeri tak bicara banyak. Bekal ilmu yang dia dapat waktu di bangku kuliah kiranya cukup untuk dimanfaatkan  mengontrol emosinya. Tiga kali dia diurut oleh pria tua di kampungnya. Dia diminta datang lagi besoknya. Tapi malamnya dia hilang lagi dari pandangan mata warga kampung. Di malam yang sama dia kembali berada di kota Wenang, Manado. Tak lagi pikir soal makan malam, sontak dia membuka laptop-nya untuk bicara dengan pendeta Calvin lewat akun media sosial.  Dan sebuah kebetulan lagi. Nama pendeta yang disebut temannya sebagai pengkhianat itu ada namanya di kotak obrolan.
“Pendeta, da bagimana  tu depe cirita kong sampe pendeta usul ada diskusi deng pemuda? Apa tu latar blakang?”
“Pendeta Mercy tanya ngana pe kabar kalu ada dimana. Soalnya so jarang di kampung. Qta bilang mungkin kuliah soalnya ada di S2 UNSRAT dan selama ini aktif di kegiatan budaya. Baru, muncul cerita kalu ngana so nda maso gereja kata disana. Kita bilang so ada sto keyakinan baru. Dan itu yang perlu didiskusikan. Nda bacarita tentang pemuda. Mar, mungkin penafsirannya sampai kesana. Ibu sebagai pendeta, ta kira itu wajar untuk di kritisi dan di dialogkan.”
Valeri jadi bingung. Bila membaca ketikan penjelasan pendeta Calvin, tak ada yang salah. Memang ada sedikit yang sensitif. Lalu, siapa yang berbohong? Kutipan pendeta Mercy tentang pernyataan pendeta Calvin sangat berbeda dengan apa yang dibaca Valeri hari ini. Pendeta Mercy, setelah Valeri konfirmasi, juga menyatakan bahwa pendeta Calvin sudah berdusta dengan membantah kalau dia pernah bilang Valeri adalah penyesat dan sedang menyesatkan para pemuda sekampungnya. Siapa yang berdusta? Apa ada seorang pendeta berdusta?
Pernah pertanyaan itu Valeri tujukan pada kakaknya. Sekonyong-konyong kakaknya bilang, “Apa ada pendeta berdusta? Ya ialah. Banyak!!! Menurutmu, apa para pendeta kita pernah jujur dengan isi hatinya. Menurutmu apa sogok menyogok dalam soal mutasi pendeta itu mereka buka di atas mimbar? Menurutmu, apa mereka pernah mengaku kalau nafsu seks mereka sering dipuaskan dengan beramahtamah dengan sesama hamba Tuhan yang kemudian berujung pada perselingkuhan? Menurutmu, apa mereka mau mengakui kalau perseteruhan di UKIT sebenarnya dilantarbelakangi oleh keinginan para pendeta untuk berkuasa? Menurutmu, apa mereka pernah benar-benar jujur soal kuangan kas jemaat?”
Bukannya terobat kegundahannya. Malah bertambah oleh karena pikiran-pikiran kakaknya itu. Valeri pun putus asa untuk mencari siapa biang keladi perusakan nama baiknya. Gara-gara ulah dua pendeta itu para diaken dan syamas ikut-ikutan menyebar kabar burung dalam kumpulan terkecil jemaatnya. Pertemuan-pertemuan ibadah tak lagi menjadi wadah pemberitaan kabar keselamatan sebagaimana amanat Yesus, justru menjadi tempat penghakiman terhadap terdakwa yang sengaja tak dihadirkan. Ruang-ruang ibadah bukan lagi diisi dengan penguatan-penguatan iman tapi dengan pembusukan-pembusukan insan. Serigala saja enggan menerkam anaknya sendiri. Tapi para gembala  ini justru beramai-ramai menelanjangi dombanya sendiri. Domba yang bermasalah bukannya dikunjungi dan dibantu keluar dari jerat malah ditendang masuk jurang yang curam.
Aneh bin ajaib. Ada seorang pemuda yang sudah jarang ke gereja. Hobinya naik gunung dan melancong ke tempat-tempat indah ciptaan sang Khalik. Dia mengagumi ciptaanNya. Dia juga gemar menulis di dinding-dinding media sosial. Tak bisa dipungkiri tulisan-tulisan itu mengundang kontroversi karena berisi kritik. Kritik untuk siapa? Kritik unutk semua orang. Termasuk dia sendiri, Valeri. Barangkali, lantaran tak terima dikritik atau tersinggung, berulahlah orang-orang tertentu. Menebar fitnah demi sebuah kemudahan untuk keluarga.
Sebulan kemudian Valeri pulang kampung. Hari itu berkenaan dengan hari Pengucapan Sukur se-kabupaten. Yang dia lihat pada mata-mata orang sekampungnya tinggal pandangan curiga dan amarah. Ternyata para pendeta itu telah berhasil. Dia juga dengar, bukan hanya pendeta. Ada juga guru-guru yang pernah menjadi kawannya, sewaktu masih mengajar dulu, yang ikut ambil bagian merusak namanya. Makanya tak heran banyak murid yand dulu akrab dengannya kini menjauh seolah melihat hantu bertaring. Tapi, Valeri masih saja santai. Bahkan dia menegur orangtuanya yang sudah naik pitam. Entah apa yang ada di pikiran Valeri. Apakah dia telah mewarisi kesabaran Ayub. Atau, mungkinkah dia menganggap soal itu enteng. Dia sih enteng karena dia tak tinggal di kampung. Yang berat ya keluarganya - orangtua dan adik kakaknya. Juga keponakan-keponakannya.
Valeri kini tak lagi banyak bicara. Mungkin menyalahkan diri. Mungkin juga mengutuki orang-orang yang telah sampai hati menusuknya dari belakang. Sikap pendiam itu kuperhatikan semakin menjadi saat dia tahu orangtuanya telah beralih kepercayaan. Bukan. Sejatinya bukan beralih kepercayaan. Hanya beralih tempat saja. Karena sesungguhnya Tuhan itu omnipresent, ada dimana-mana. Dulu mereka setiap malam rajin membaca kitab bahasa Indonesia tulisan latin. Kini kitabnya sudah berganti, kini kitab mereka ber-aksara Arab. Tembang-tembang dari mulut mereka bukan lagi dari kidung jemaat melainkan solawat dan irama padang pasir yang sarat dengan bunyi-bunyi kasidah. 

======================
Minahasa, 12 Agustus 2014

Rabu, 19 Maret 2014

DOTI

oleh Iswan Sual




Di sebuah gubuk kecil di tengah hutan. Pergilah kesana Tuama. Saat dia tiba tak nampak seorang pun dalam gubuk. Pintu dan jendela yang terbuat bamboo itu tampak tertutup rapat. Serombongan burung taun lewat di langit  yang kian pekat. Burung titicak terdengar ribut di dahan-dahan pohon yang rimbun. Terdengar seperti debat kusir para wakil rakyat yang sama sekali bukan sebagai upaya untuk memperbaiki nasib rakyat. Melainkan hanya berkutat pada kepentingan sesaat mereka mumpung masih menjabat. Tuama sedikit kecewa karena tak melihat orang yang perlu ditemuinya. Enggan dia melangkah mendekat ke gubuk tua reyot itu. Apalagi gelap semakin dekat. Lebih baik pulang sebelum malam tiba.  Bisiknya pada dirinya sendiri.
“Aweang ona’ re’e perlu?[1]” kata seorang kakek tiba-tiba.
Dengan kaget Tuama menoleh ke arah suara serak dan agak kasar itu. Di hadapannya telah berdiri seorang pria lusuh sedang memikul cangkul dan menjinjing tiga atau empat singkong yang berukuran sedang-sedang saja. Tanah tebal masih menempel pada singkong-singkong itu. Titik-titik cairan getah menetes dari ujungnya yang sempat terluka oleh sabetan cangkul. Bagai jarum jam yang berdetak mengantar mereka di lorong gelap.
“Eng karu’ e om![2]” sedikit terbata-bata Tuama mulai menguraikan maksudnya.
Dipersilahkan pria tua itu Tuama masuk ke dalam gubuknya. Gubuk dan orang yang tinggal di dalamnya patut dikasihani. Gubuk itu rasanya tak cukup untuk melindungi mereka dari dinginnya malam. Sela-sela pada dinding bambunya melebar setiap hari berganti. Panas dan hujan bekerjasama dengan rayap-rayap menambah kelapukannya. Barangkali besok atau lusa pria  itu harus segera membangun gubuk yang baru.
“Sebenarnya kedatangan saya kesini ada kaitannya dengan rasa sakit yang sudah kualami berhari-hari ini om. Aku sudah mencoba pergi berobat ke kota. Seperti yang disarankan oleh pendetaku. Tapi, kata dokter tak satu pun penyakit terdeteksi bersarang dalam tubuhku. Memang, beberapa anggota keluarga sudah menyarankan agar aku langsung ke sini bulan yang lalu karena mereka yakin bahwa yang aku derita ini bukanlah penyakit biasa. Tapi setiap kali aku mulai keluar rumah, sepertinya si pendeta sudah punya firasat, dia selalu mencegahku. Katanya, ‘Jangan mencari kesembuhan pada berhala-berhala!’ Aku berusaha taat pada perkataannya. Tapi, rasa sakit di telinga dan kepalaku mendesak agar aku segera mencari pertolongan lain. Karena bagiku dokter dan dukun sama saja. Mereka adalah alat Opo Kasuruang Wangko. Pendeta lebih mengajarkan perawatan dokter karena lebih masuk akal. Sementara pengobatan tradisional, karena kurangnya pemahaman, dianggapnya sebagai pekerjaan setan. Saya kadang heran. Ketidakinginan untuk belajarnya menghalanginya untuk memahami model perawatan itu.  Padahal penyembuhan lewat ibadah KKR pun sulit untuk masuk dalam akal sehatku.“
Panjang lebar Tuama bercerita kepada kakek itu. Termasuk kapan gejala penyakit mulai dia rasakan. Semua penjelasannya hanya disambut dengan anggukan kepala. Tapi mata kakek itu menyiratkan bahwa otaknya bekerja berat membuat kesimpulan-kesimpulan yang mendekati kemungkinan. Dia lalu meminta Tuama pergi ke kebun dimana dia selalu menghabiskan waktunya demi menggembalakan sapi.
“Mange an terung an uma nu wo indongenu sanga kompol en amporang ambitu. Bungkusengio wo aling mi’i. indong ki’i siou rosi. Ta’ang ca toro wo ca ro’na remoma’ a se tou si pa’pesungkelennu,”[3] kata kakek.
Tanpa membuang waktu lagi Tuama pun bergegas pergi menuju kebunnya. Dia melakukan semua persis seperti yang diarahkan. Dan dia kembali membawa abu sisa pembakaran dan menyerahkannya kepada sang dukun. Saat dia kembali di atas meja telah tergeletak dua piring pusaka yang telah ditutup dengan kain merah. Di antara ke dua piring itu tergelar juga sebuah keris emas kecil yang juga dililiti kain merah. Tuama sama sekali tak terkejut dengan benda-benda itu. Karena semua itu selalu dilihatnya di rumah kakeknya yang bernama Hero. Bahkan isi sompoi kakeknya punya lebih banyak barang-barang lain. Barang-barang tak seorang pun boleh menyentuhnya. Karena kesakralannya.
“Ada orang yang marah padamu. Karena kamu tak mau bertukar sapi dengan dia. Dia sangat suka dengan sapimu. Kain hitam yang dililit rambut ini kutemui dalam abu sisa bakaran yang kamu bawa. Sakit yang kamu alami adalah ini penyebabnya…. Tapi masih ada satu lagi. Coba buka mulutmu dan hembuskan nafas ke bunga ini….. ya ternyata ini. Dia menyelipkan kepingan puntung rokok dan barang pecah belah ke dalam tubuh dengan bantuan mahluk gaib. “
Tuama berusaha menyangsikan uruaian sang dukun. Tapi, sakit yang dia derita berangsur pergi. Kesembuhan telah terjadi. Tapi, tak sepata kata hujatan pun keluar dari mulut sang dukun. Tuama pun ingat seseorang yang kerap berkunjung ke rumahnya. Orang yang memaksakan kehendaknya agar mereka melakukan barter sapi. Hewan yang Tuama gunakan sekali seminggu untuk batibo[4] ke kota Kotamobagu. Negeri yang pernah menjadi pusat kekuasaan Loloda Mokoagow, raja besar Bolaang Mongondow. Dia tak menyangka orang yang dipanggilnya kakak itu tega melakukan praktik doti[5] terhadap Tuama. Dia menggunakan wentel[6] untuk mencelakai orang. Sungguh sangat bertentangan dengan ajaran tetua mereka. Sebuah wentel adalah anugerah, pemberian cuma-cuma dari yang maha kuasa. Kini dipergunakan untuk kejahatan.
“E Tuama. Sa ico mesungkul si tou niitu. Ca toro ico ma’bow asia. We’e a si Opo Kasuruang oka eng pamulengengnu. Kinela’ana kua sa sia semea’em.”[7]
Tuama pulang dalam keadaan bingung. Bukan oleh karena perkataan sang dukun. Melainkan perkataan pendeta yang melarangnya pergi ke dukun. Betapa kelirunya dia. Karena ketidaktahuan dan ketidakmauan untuk belajarlah yang menyebabkan dia memiliki prasangka buruk pada praktik yang adalah warisan leluhur itu. Ternyata, apapun yang ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan yang bisa digunakan secara benar dan salah. Wentel seumpama pisau. Bisa bermanfaat. Bisa mencelakakan. Kebenaran dan kesalahan ternyata adalah soal tahu dan tidak tahu.

Tondei, 17 Maret 2013






[1] Ada perlu mungkin? (Bhs Tontemboan)
[2] Iya benar Om! (Bhs Tontemboan)
[3] Pergilah ke ladangmu dan ambilah abu sisa sisa pembakaran di sebuah gubuk. Bungkuslah dan bawa kesini. Bawa juga Sembilan kuntum bunga mawar. Namun, jangan bicara dengan siapapun yang kamu temui.
[4] Berjualan langsung ke pasar setelah melaksanakan perjalanan jauh.
[5] Menyebabkan orang lain sakit, celaka atau mati secara mistik.
[6] Jimat
[7] “Nak, bila kamu bertemu dengan orang itu. Tak usahlah  kamu memarahi dia. Serahkan pada Tuhan saja tanggungan dan penderitaanmu itu. Dia telah menyadari kesalahannya.”

BERSAMA PRIA TUA DI SUATU SORE


oleh Iswan Sual


Lorong yang Karapi susuri sore itu nampak ramai. Beberapa orang berjalan dengan arah yang sama dan berlawanan dengannya. Kira-kira 50 meter jauhnya, terlihat olehnya seorang lelaki berpakaian putih berdiri di depan rumah. Lelaki itu bertubuh agak pendek. Kumisnya dibiarkan tumbuh. Namun tak terlalu tebal.
Rumah itu memiliki kintal yang luas dan dikelilingi pagar bambu yang dicat dengan warna bendera negara kami. Tak boleh warna lain. Harus merah dan putih supaya seragam. Sungguh kontras dengan semboyan negara, Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan yang menipu dan membodohi. Tinggal sebuah slogan.
Senyuman dengan gigi yang rapih jelas ditujukan kepadanya. Karapi membalas senyum itu. Dia kenal, tentu saja, pria yang sudah berambut putih namun masih tegak berdiri itu.
“Darimana re’e? Singga dulu!” sapa lelaki tua itu.
“Dari sebla. Da pimpin ibada kwa,” balas Karapi dengan ramah dan penuh hormat.
Ada rasa bahwa orang tua yang berdiri di hadapannya adalah orang yang perlu dihormati bukan hanya lantaran itu merupakan tuntutan adat istiadat. Lebih dari itu. Dia merasa penghormatan mesti diberikan lantaran orang tua adalah Apo. Orang yang patut dicontoh karena punya banyak pengalaman, pengetahuan, dan wibawa. Karapi merasa bahwa Apo Mandor mewujud dalam diri orang tua itu. Padahal dia sendiri tak sempat melihat Apo Mandor yang riwayatnya sangat melegenda di Wanua atau kampungnya. Apo Mandor dikenal sebagai tonaas, orang yang patut dicontoh, orang yang teguh karena memiliki mutu hidup seperti, keter (kuat), niatean (berhati nurani) dan nga’asan (memiliki pengetahuan dan kecakapan hidup).
Karapi memutuskan mampir bukan karena hanya untuk berbasa-basi. Tiba-tiba diingatnya bahwa ada hal-hal yang hendak dia tanyakan. Pertama berkenaan dengan silsilah keluarga. Ayahnya memintanya untuk memperjelas apakah benar Apo Philep adalah anak dari Apo Mandor atau hanya kemenakannya. Soanlya ada yang bilang bahwa Apo Philep yang tinggal di desa Ongkau bukan anak kandungnya Apo Mandor. Memang itu kedengarannya hal yang sepele. Tapi tidaklah demikian bagi Karapi. Dia mesti mencari sebuah kepastian. Atau paling tidak sebuah kejelasan.
Melalui pintu dapur Karapi masuk membeo di belakang pria tua tadi. Tak perlu menunggu dipersilahkan duduk. Karapi merasa basa-basi itu tidak dibutuhkan karena mereka di rumah itu dianggapnya serumpun. Berasal dari keluarga yang sama. Segelas kopi, tak lama kemudian, disugukan oleh salah seorang menantu perempuan. Karapi tak mengenal perempuan muda itu. Tapi dia yakin pasti dia adalah istri salah seorang anak pria tua yang menjadi teman bicaranya. Belum lagi kopi diteguk Karapi, sepiring nasi jaha telah disajikan. Nasi jaha tiada dibalut dengan daun pisang. Orang di kampungnya menyebut itu nasi ja’a blanga.
Awalnya dua orang dengan beda usia yang terlampau jauh itu bincangkan tentang tipisnya peluang desa mereka untuk memiliki utusan dari kampung sendiri untuk menjadi anggota dewan di kabupaten. Kedua-duanya menyesalkan empat orang-orang terdidik sekampung yang mencalonkan diri yang tidak mau berembuk untuk mengakui mana dari mereka yang lebih layak menjadi penyambung lidah rakyat dari desa, ro’ong kami. Masing-masing tak ada yang mau mengalah. Mereka telah lebih setia pada partai yang memecahbelah. Partai yang cenderung berpihak pada mereka yang kantongnya penuh emas. Karapi sendiri lebih memilih calon yang bernama Kumayas. Sedangkan pria tua itu condong kepada Sumangkut. Keputusan si pria beralaskan hubungan darah. Sedangkan keputusan Karapi berlandaskan tingkat pendidikannya.
Karapi menganggap bahwa pembicaraan mereka yang bertalian dengan politik itu tak usah diteruskan. Apalagi mereka punya jagoannya yang berbeda. Tambahan lagi, tujuan utama Karapi mampir bukan untuk bicara politik Indonesia yang sudah tak ada harapan lagi. Politik hanyalah sebuah lelucon, kata Iswan Sual, seorang temannya yang pernah menjadi korban pengeroyokan oleh beberapa politikus kampung yang menerapkan metode machievelian ketika tahun lalu menawarkan diri menjadi calon Ukung Tua di kampungnya. Iswan Sual adalah seorang sarjana yang penuh semangat dan masih bujangan. Berumur tiga puluh tahun. Berkampanye secara wajar. Tanpa menyebar uang sogokkan, pesta pora atau semacam itu. Dia berikhtiar menyampaikan suara kenabian lewat tutur dan tindak. Namun, ternyata orang di kampung halamannya. Akhirnya dia menyadari bahwa dia tak pantas dan tak memenuhi kriteria manusia-manusia jaman sekarang. Yesus saja ditolak di kampung halamannya. Apalagi hanya seorang Iswan Sual yang berayahkan seorang petani dari golongan ekonomi menengah ke bawah.
“Tua, butul re’e tu tete Pilep bukang tete Mandor pe anak?” kata Karapi setelah dua tegukkan kopi mengalir masuk melalui tenggorokannya yang tak memiliki sesuatu yang menonjol.
“O! baru ki’i ini kong kita dengar!” jawabnya sedikit tertawa. Pria yang bernama Junus Sual itu sangat terkejut. Jelas dia tak percaya dengan apa yang baru saja diutarakan Karapi. Dia yakin betul. Keterangan mengenai keturunan dari Apo Mandor dia peroleh langsung dari anak-anak Apo Mandor yang sempat dikenaldekatnya seperti Apo Tertius, Apo Maruang dan Apo Saul. Bahkan ayahnya dan saudara orang tuanya turut memperkuat tentang itu.
“Nyanda mungkin no! Kita pe papa ja terangkan bae-bae. Kita besar di Tiniawangko. Dulu dorang bilang tu kampung itu Mangowa. Tu Tiniawangko itu torang pe Apo Mandor yang buka. Dia kwa dulu Blanda angka jadi Mandor. Dorang yang buka tu sinia’ wangko’ deng tu Kobio’ yang so jadi kobong Ongkau skarang. Makanya sala satu tu depe anak korang da kaweng, tinggal deng mati di Ongkau. Tu sala satu depe anak, kita pe papa ya itu, tinggal di Tiniawangko jadi pegawai perusahaan karet di Tiniawangko. Waktu itu masi goro. Blum da tanang akang klapa. Orang Blanda dulu ja bilang kalu mo ganti klapa mo banya orang yang mo jadi papancuri. Serta kita lia, butul karu ya tu Blanda," urainya panjang lebar.
Topik mereka selanjutnya berganti-ganti. Pria tua yang lebih banyak bicara. Sedangkan Karapi memilih menjadi pendengar setia. Sebab dengan begitu dia akan membawa pulang kekayaan yang tiada ternilai harganya, warisan ingatan tentang leluhurnya. Sebuah tuturan yang menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dan kini. Kadang dituturkannya dengan bangga tentang pengalamannya sewaktu masih menjadi tentara Permesta. Katanya beberapa kali dia ditangkap oleh musuh. Dan ditembak tapi nyawanya selamat karena dia menaati apa yang diajar oleh Apo-aponya. Dengan bangga dia mengaku bahwa dia kadang membawa sompoi Apo Hero Timporok sewaktu Apo masih hidup. Juga diceritakannya tentang dirinya yang nyaris kaya dari kupeso karena bertapa di kuburnya Apo Mandor.
“Kita dulu itu blum bapegang wentel. Karna blum cukup umur. Nanti smo brangkat ka Jawa kong dapa. Mar, biar blum ada tu da kase ika-ika di badan mar dorang tete ja datang babise-bise pa kita pe talinga, ‘Ca toro mainde-inde e poyo’, jang tako e cucu!’.
Karapi pulang saat matahari telah ditelan ufuk barat. Hari itu dia dilanda rasa gembira yang luar biasa oleh karena cerita-cerita heroik. Cerita-cerita mirip itu sering ditontonnya di TV. Seperti film tentang manusia-manusia super yang diangkat dari cerita komik Amerika Serikat yang dinikmatinya sewaktu kecil. Karapi pulang dengan rasa puas. Namun masih haus akan cerita-cerita lain yang belum didengarnya.