[sebuah cerpen]
Oleh Iswan Sual
Tiba-tiba
telpon genggam Valeri menggelinjang dan lompat-lompat di atas meja belajarnya. Masih disebut meja
belajar lantaran meski sudah lama tamat kuliah, di meja itu masih menumpuk
buku. Setiap bulan bahkan bertambah. Setiap bulan sebagian gaji Valeri ditukar
dengan buku-buku.
Untung
saja cepat dia melihatnya. Kalau tidak
pasti badan ponsel tersebut telah terpisah-pisah begitu membentur ubin lantai kamar berwarna putih di
kamarnya. Panggilan telpon sebenarnya mau dia acuhkan saja. Itu sebelum dia
melihat nama pemanggil yang tertera di layarnya.
“Halo…ngana
ja kerja ato?”
“Halo….
Bicara jo. Kyapa?”
“Napa
mama mo bicara kata.”
Mendadak
dinding dada Valeri seperti ditendang-tendang dari dalam. Rasanya mau jebol dan
ambrok. Kok, mama mau bicara? Tentang apa? Apa sesuatu yang luarbiasa telah
terjadi? Pertanyaan itu memberondongnya. Enggan rasanya dia menekan tombol
terima telpon sebelum siap sedia dengan kenyataan yang bakal masuk di
telinganya sebentar lagi. Ada apa ya? Apa terjadi sesuatu pada ayah? Apa
penyakitnya kambu lagi? Pertanyaan-pertanyaan menggempurnya kembali. Valeri memang
selalu dak dik duk bila ada panggilan masuk di telpon genggamnya. Dan biasanya
pikirannya langsung ke ayahnya. Gelagatnya seperti itu bukan tanpa alasan.
Tahun lalu ayahnya terserang penyakit. Penyakit yang merengut berjuta-juta
rupiah. Penyakit yang membuat ayahnya tumbang seketika di saat sedang nonton adu
tinju di tv. Namun sayang penyakit itu tak ditemukan pihak rumah sakit. Macam-macam
cara telah dilakukan. Scanning, tes
urin, periksa darah, dan lain-lain. Semua itu tak membuahkan hasil. Tapi para
dokter, perawat dan semua di perusahaan sakit itu meraup keuntungan dari rawat
inap tiga hari ayah Valeri. Biasanya orang kampung, bila sudah begitu, pasti
akan cepat-cepat pulang dan mencari kambing hitam. Mereka akan mencoba-coba
mengingat orang-orang yang pernah berselisih paham lalu menuduh orang itu sudah
melakukan praktik madiara. Tapi
valeri tidak. Dia tahu penyakit ayahnya tak bisa terdeteksi lantaran alat-alat
canggih sedang disimpan khusus untuk orang-orang kaya saja. Atau lantaran
kedunguan para dokter yang dapat status dokter karena orang tua mereka hartanya
banyak sehingga korang taambor-ambor. Yang mendapat kartu sehat pun tidak
berarti dirawat cepat. Mereka hanya menjadi tujuan praktek para mahasiswa yang
sebentar lagi jadi dokter.
“Haaaaalo!”
“Kalu
bole, ngana pulang skarang. Napa so hebo di sini, ngana kata so ja sesatkan
orang!”
Entah
apa yang Valeri ujarkan selanjutnya. Suara ibunya kini terdengar seolah bunyi
NGIIIIING panjang di telinganya. Entah apa jawab yang diberikannya sewaktu
hendak akhiri pembicaraan. Kini Valeri hanya terbelalak memandang tembok cat
ungu di depannya. Rasa kantuk telah minggat sejauh-jauhnya. Tak tahu dimana
rimbanya. Dia sekarang ini memikirkan satu nama. Calvin. Calvin adalah seorang
pendeta yang pernah bertugas di gereja di desanya. Sekarang telah pindah ke
jemaat Karowa. Tapi, rasanya dia tak percaya. Kok, seorang pendeta bisa gegabah
dan tolol seperti itu? Kok,tega-teganya dia menggosipkan anggota jemaatnya?
Valeri mengingat satu nama lagi yang disebut ibunya. Katanya dia juga seorang
pendeta dan turut andil dalam penyebaran desas-desus. Hanya, kelaminnya
perempuan. Valeri memaksa otaknya bekerja untuk mengingat nama itu. Saraf-saraf
yang rusak akibat terhenyak oleh berita
buruk yang didengarnya tadi tetap saja dipaksanya berfungsi untuk mengingat
satu nama. Meeeeerrrcy. Ya itu namanya. Nama yang kadang-kadang disalahucapnya
menjadi Merry dulu tatkala bertemu dengan
si ibu pendeta. Dia memang sering menghindari ibu pendeta itu gara-gara sering
memaksanya untuk segera disidi, dijadikan jemaat penuh sehingga bisa
menggunakan hak pilih dalam suksesi diaken dan syamas. Kata ibunya ibu pendeta
ini diberitahu pendeta Calvin bahwa Valeri telah menjadi orang sesat dan sedang
menyesatkan orang.
Siang
itu juga Valeri langsung membuka akun media sosialnya hanya untuk melihat-lihat
apakah si Calvin itu sedang online. Dan
ternyata Valeri beruntung. Di sudut kanan halaman akunnya tertera nama Calvin
Wuner. Dulu salah seorang teman Valeri yang kebetulan sama-sama kuliah dengan
Calvin di UKIT pernah berujar, “Calvin
itu pengkhianat. Dulu dia yang pimpin
demo mahasiswa melawan GMIM yang memaksakan untuk mengubah YPTK mejadi
Wenas. Kami mendukungnya. Karena kami percaya dia. Tapi, ternyata dia itu
bunglon dan pengkhianat. Diam-diam dia melompat ke kandang sebelah dengan tipu
muslihat. Pasti dia menyogok. Lebih baik
aku begini saja namun tetap pada pendirian daripada menjadi pendeta dari hasil
sogokan.” Valeri terheran-heran mendengar itu. Dan tentu saja tak percaya
dengan kata-kata temannya itu. Wajar bila dia begitu, pikir Valeri.Dia tentu
stress lantaran GMIM tak mau menerima
mereka, lulusan YPTK, untuk menjalani masa vikariat di jemaat GMIM.
Rasa
enggan dan malu menghalangi jari-jari Valeri untuk mengetik sebaris pertanyaan
di kotak obrolan media sosial. Rasa itu tentu karena gelar pendeta yang melekat
pada nama itu. Orang-orang kini kebanyakan tidak takut berbuat dosa meski
mereka tahu mata Tuhan ada dimana-mana. Namun, para jemaat takut berbuat hal
demikian di depan pendeta. Maklum, para pendeta itu adalah hamba Tuhan. Sama
seperti pemerintah yang adalah wakil Allah. Dan kadang-kadang pendeta dan pemerintah
lebih dipertuhankan daripada Tuhan itu sendiri. Para pendeta bukannya mencegah
itu malah keenakan.
Entah
roh apa yang merasuk, jari-jari tangan Valeri tiba-tiba bergelinjang di atas
papan tuts komputer portable-nya.
“Pendeta,
kyapa pendeta ja bilang kita kata so sesat deng so ja sesatkan orang?”
“Qt bilang di ajak diakusi tu pemuda. Bukan sesatkan. Mungkin ibu
yang salah membahasakan.”
“Amper satu kampung so tau bahwa kali kata kita
penyesat. Lantaran nae-nae gunung, pigi-pigi di aerjatu, dll. Tu cirita ini
hebo di skola deng di greja.”
Sejurus kemudian percakapan terhenti. Tak tahu
sebabnya. Mungkin sinyal yang kurang subur. Mungkin juga pendeta Calvin sibuk
dengan kerja mempersiapkan bahan khotbah untuk kebaktian malam nanti.
Esoknya Valeri telah berada di kampung halamannya.
Pagi-pagi sekali dia meluncur dengan sepeda motor tua bermerk Kharisma keluaran
tahun 2003. Kepulangannya bukan untuk mengamuk atau hal-hal nekat sejenisnya di
rumah pastori. Kepulangan kali ini dipicu oleh rasa sakit di punggung dan
tangan kirinya. Barangkali pemantiknya adalah kerna tergelincir dan terjatuh
saat menuruni gunung Soputan dua minggu lalu. Orang Minahasa bilang itu salese. Belum lagi dia duduk, ibunya
langsung mencecarnya dengan cerita-cerita miring tentangnya. Kata ibu Valeri,
cerita buruk itu bermula dari mulut pendeta Calvin kemudian menjangkit ke mulut
pendeta Mercy. Ibunya menerangkan dengan jelas. Tak sedikit pun ada tanda jika
cerita itu dikarang-karang. Namun, Valeri tak bicara banyak. Bekal ilmu yang dia
dapat waktu di bangku kuliah kiranya cukup untuk dimanfaatkan mengontrol emosinya. Tiga kali dia diurut oleh
pria tua di kampungnya. Dia diminta datang lagi besoknya. Tapi malamnya dia
hilang lagi dari pandangan mata warga kampung. Di malam yang sama dia kembali
berada di kota Wenang, Manado. Tak lagi pikir soal makan malam, sontak dia
membuka laptop-nya untuk bicara
dengan pendeta Calvin lewat akun media sosial. Dan sebuah kebetulan lagi. Nama pendeta yang
disebut temannya sebagai pengkhianat itu ada namanya di kotak obrolan.
“Pendeta, da bagimana tu depe cirita kong sampe pendeta usul ada diskusi
deng pemuda? Apa tu latar blakang?”
“Pendeta Mercy tanya ngana pe kabar kalu ada dimana. Soalnya
so jarang di kampung. Qta bilang mungkin kuliah soalnya ada di S2 UNSRAT dan
selama ini aktif di kegiatan budaya. Baru, muncul cerita kalu ngana so nda maso
gereja kata disana. Kita bilang so ada sto keyakinan baru. Dan itu yang perlu
didiskusikan. Nda bacarita tentang pemuda. Mar, mungkin penafsirannya sampai
kesana. Ibu sebagai pendeta, ta kira itu wajar untuk di kritisi dan di
dialogkan.”
Valeri jadi bingung. Bila membaca ketikan penjelasan
pendeta Calvin, tak ada yang salah. Memang ada sedikit yang sensitif. Lalu,
siapa yang berbohong? Kutipan pendeta Mercy tentang pernyataan pendeta Calvin
sangat berbeda dengan apa yang dibaca Valeri hari ini. Pendeta Mercy, setelah
Valeri konfirmasi, juga menyatakan bahwa pendeta Calvin sudah berdusta dengan
membantah kalau dia pernah bilang Valeri adalah penyesat dan sedang menyesatkan
para pemuda sekampungnya. Siapa yang berdusta? Apa ada seorang pendeta
berdusta?
Pernah pertanyaan itu Valeri tujukan pada kakaknya.
Sekonyong-konyong kakaknya bilang, “Apa ada pendeta berdusta? Ya ialah.
Banyak!!! Menurutmu, apa para pendeta kita pernah jujur dengan isi hatinya.
Menurutmu apa sogok menyogok dalam soal mutasi pendeta itu mereka buka di atas
mimbar? Menurutmu, apa mereka pernah mengaku kalau nafsu seks mereka sering
dipuaskan dengan beramahtamah dengan sesama hamba Tuhan yang kemudian berujung
pada perselingkuhan? Menurutmu, apa mereka mau mengakui kalau perseteruhan di
UKIT sebenarnya dilantarbelakangi oleh keinginan para pendeta untuk berkuasa?
Menurutmu, apa mereka pernah benar-benar jujur soal kuangan kas jemaat?”
Bukannya terobat kegundahannya. Malah bertambah oleh
karena pikiran-pikiran kakaknya itu. Valeri pun putus asa untuk mencari siapa
biang keladi perusakan nama baiknya. Gara-gara ulah dua pendeta itu para diaken
dan syamas ikut-ikutan menyebar kabar burung dalam kumpulan terkecil jemaatnya.
Pertemuan-pertemuan ibadah tak lagi menjadi wadah pemberitaan kabar keselamatan
sebagaimana amanat Yesus, justru menjadi tempat penghakiman terhadap terdakwa
yang sengaja tak dihadirkan. Ruang-ruang ibadah bukan lagi diisi dengan
penguatan-penguatan iman tapi dengan pembusukan-pembusukan insan. Serigala saja
enggan menerkam anaknya sendiri. Tapi para gembala ini justru beramai-ramai menelanjangi
dombanya sendiri. Domba yang bermasalah bukannya dikunjungi dan dibantu keluar
dari jerat malah ditendang masuk jurang yang curam.
Aneh bin ajaib. Ada seorang pemuda yang sudah jarang ke
gereja. Hobinya naik gunung dan melancong ke tempat-tempat indah ciptaan sang
Khalik. Dia mengagumi ciptaanNya. Dia juga gemar menulis di dinding-dinding
media sosial. Tak bisa dipungkiri tulisan-tulisan itu mengundang kontroversi
karena berisi kritik. Kritik untuk siapa? Kritik unutk semua orang. Termasuk
dia sendiri, Valeri. Barangkali, lantaran tak terima dikritik atau tersinggung,
berulahlah orang-orang tertentu. Menebar fitnah demi sebuah kemudahan untuk
keluarga.
Sebulan kemudian Valeri pulang kampung. Hari itu
berkenaan dengan hari Pengucapan Sukur
se-kabupaten. Yang dia lihat pada mata-mata orang sekampungnya tinggal
pandangan curiga dan amarah. Ternyata para pendeta itu telah berhasil. Dia juga
dengar, bukan hanya pendeta. Ada juga guru-guru yang pernah menjadi kawannya,
sewaktu masih mengajar dulu, yang ikut ambil bagian merusak namanya. Makanya
tak heran banyak murid yand dulu akrab dengannya kini menjauh seolah melihat
hantu bertaring. Tapi, Valeri masih saja santai. Bahkan dia menegur orangtuanya
yang sudah naik pitam. Entah apa yang ada di pikiran Valeri. Apakah dia telah
mewarisi kesabaran Ayub. Atau, mungkinkah dia menganggap soal itu enteng. Dia
sih enteng karena dia tak tinggal di kampung. Yang berat ya keluarganya -
orangtua dan adik kakaknya. Juga keponakan-keponakannya.
Valeri kini tak lagi banyak bicara. Mungkin menyalahkan
diri. Mungkin juga mengutuki orang-orang yang telah sampai hati menusuknya dari
belakang. Sikap pendiam itu kuperhatikan semakin menjadi saat dia tahu
orangtuanya telah beralih kepercayaan. Bukan. Sejatinya bukan beralih
kepercayaan. Hanya beralih tempat saja. Karena sesungguhnya Tuhan itu omnipresent, ada dimana-mana. Dulu
mereka setiap malam rajin membaca kitab bahasa Indonesia tulisan latin. Kini
kitabnya sudah berganti, kini kitab mereka ber-aksara Arab. Tembang-tembang
dari mulut mereka bukan lagi dari kidung jemaat melainkan solawat dan irama
padang pasir yang sarat dengan bunyi-bunyi kasidah.
======================
Minahasa,
12 Agustus 2014